Sabtu, 06 September 2008

OSPEK: WARISAN atau UNDANG-UNDANG?

Cepetan dek!

Ngapain masih berdiri di situ?

Lelet!

Tiga kalimat di atas plus nadanya udah nggak asing lagi deh di dunia per-ospek-an. Mata melotot, bibir maju tak gentar sekitar 1,5 inch dimix ama seringai, tangan kiri berkacak pinggang, en tangan kanan tunjuk sana tunjuk sini (kalau perlu.. tonjok!). Udah mirip wayang Burisrawa. Nggak cewek, nggak cowok, kalo udah jadi PK alias Pemandu Kedisiplinan pasti gayanya cuma satu. Ya seperti Burisrawa itu tadi (kaya’ ga punya inovasi aja, he he).

Rata-rata ospek jadi momok bagi setiap mahasiswa baru. Sebenernya ospek itu apaan sih? Orientasi studi pengenalan kampus. Yee… kalo itu sih anak SD aja tau. Maknanya dong, maknanya..

Tujuan utama yang pertama adalah mengenalkan seluk beluk dunia perkuliahan pada mahasiswa baru. Tentang kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, tentang aturan perkuliahan, tata ruang, de el el. Juga mengenalkan maba pada para mahasiswa senior dan para dosen.

Lantas apa itu semua ada hubungannya dengan acara getak-menggetak? Sama sekali nggak khan? Lagipula, apa ospek yang selama ini diadain udah punya undang-undang sendiri? Atau cuma sekedar warisan alias tradisi saja? Perasaan belum ada deh UU yang bunyinya kaya’ gini: “UU No. … Tahun… tentang Ospek bagi Setiap Mahasiswa Baru. Menetapkan bahwa: Setiap mahasiswa baru yang akan mengikuti studi di Universitas … diwajibkan datang pukul 05.30 tepat, dengan rambut berkucir lima, dan berdandan semirip mungkin dengan orang gila.” Wakakakaak…. (ngapunteeen…).

Sesuatu tanpa dasar pijakan yang jelas bisa jadi sekarep-karep alias sak-enjoy-e, ngalamat akan adanya ketidakteraturan.

Kembali pada urusan getak-menggetak. Bukannya getak-menggetak itu malah ngerugiin? Pertama, bagi mabanya. Kasian kan ama maba yang punya penyakit jantung koroner, langsung wassalam kan berabe tuh. Perilaku kaya’ gitu juga bisa memperlebar kemungkinan timbulnya dendam kesumat lhow. Kedua, bagi Sang Penggetak. Nggak kasian tuh sama pita suaranya? Tuh pita nggak ada yang jual, Mas, Mbak. Nggak kaya’ pita merah putih yang harganya Rp 800,00 per meternya.

Kalaupun getakan-getakan/ teriakan-teriakan itu dimaksudkan untuk kedisiplinan, apa disiplin lantas berdiri tegak karena ‘kekerasan mini’ seperti itu?

Bicara tentang Islam, agama itu juga merupakan sebuah kedisiplinan. Tapi pernahkah temen-temen mendengar Allah berteriak? Kalau iya, ni dunia pasti dah kiamat dari dulu deh. Iya, Allah tak pernah mengandalkan teriakan-teriakan, apalagi kekerasan. Bahkan Ia sendiri punya nama Al-Latiif, yang artinya Yang Maha Lembut. Kecuali kalo emang manusianya yang biadab alias nggak beradab, maka barulah datang azab. Tapi apa lupa nggak bawa selembar koran bekas bisa disejajarkan sama mutilasi case-nya Rian?

Sebuah batu, jika dipukulkan ke sesama batu pasti bisa langsung pecah berantakan. Keras sama keras. Tapi kalo batu yang diguyur air, maka lama kelamaan si batu pasti akan luluh juga. Seperti itu juga dengan penegakan kedisiplinan. Seharusnya yang dikenai itu hatinya, bukan hanya telinga atau fisiknya saja.

Lama kelamaan

Kekerasan, teriak-teriak = telinga/ jasmani = disiplin = disiplin luntur

Lama kelamaan

Lemah lembut = hati = disiplin = disiplin 4ever

Kurang lebih seperti itulah gambarannya. Lalu kira-kira kapan ya sejarah ospek kan berakhir?

Suatu saat nanti.

Jika negeri ini sudah memberlakukan EQ dan SQ sebagai parameter diterima-tidaknya seseorang di sebuah lembaga pendidikan. Bukan hanya IQ saja. Betul?

Jadi… nggak ada lagi yang namanya acara tunjuk STNK sepulang ospek. Karena mabanya dijamin zuzur 100%.

Betul?

Djogja, 5 September 2008